PNPM
ABSTRAKSI
MEMBUMIKAN PNPM : “
MUNGKINKAH ? ”
( Sebuah refleksi awal tahun 2012 )
Tulisan ini hanyalah sebuah catatan singkat hasil rekaman pengalaman
bertindak yang belum menghasilkan apa-apa. Banyak orang tahu, PNPM dengan
segala maksud dan tujuannya. Program dan kegiatan yang di lakukannya yang di
motori oleh pelaku-pelakunya dengan segala sisi baik dan sisi buruknya.
Membumikan PNPM adalah hanya sebuah istilah. meminjam istilah kata bumi ,
tempat kita berpijak , dan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya. Ada interaksi
kuat antara penghuni bumi dengan tanah yang di injak. Termasuk dengan alam
sekitarnya. Dari pengertian sederhana ini, membumikan PNPM mempunyai makna yang
mendalam . PNPM sebagai program pusat sudah seharusnya mendapat dukungan penuh
dari masyarakat urban dan Kota . program yang sudah berjalan 3 tahun , sudah semestinya sekarang ini , masyarakat
paham akan nilai dan prinsip yang terkandung di dalamnya sehingga makna
pemberdayaan akan dapat terwujud.
Sikap , nilai dan prinsip harus di implemnetasikan dalam bentuk kegiatan
konkrit di masyarakat yang pada gilirannya PNPM menjadi kebanggaan ,pemersatu
dan Alat penggerak kreatifitas usaha masyarakat yang di lakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggungjawab . Upaya terus menerus para pelaku PNPM di semua
tingkatan agar masyarakat merasa memiliki dan ada keterkaitan tanggungjawab
dalam pelaksananaan program dan kegiatan , merupakan sebuah keharusan agar
Membumikan nilai dan prinsip PNPM dapat terwujud.
MEMBUMIKAN PNPM : “
MUNGKINKAH ? ”
( Sebuah refleksi awal tahun 2012 )
Keabsahan
teori pengetahuan dan keyakinan seseorang ditentukan oleh pembuktian dalam
realitas tindakan atau pengalaman langsung, bukan retorika atau kepintaran
omongan. Saatnya membuktikan apa yang kita ketahui dan apa yang telah kita
yakni. Pembebasan diri dari berbagai tindak kelicikan dan kekejian Menjadi
Hakekat Tujuan kebersamaan kita. Penyadaran menjadi Otak sebuah proses,
Pembelajaran dan penerapan pengetahuan membutuhkankeberanian.
Abstraksi
Abstraksi
Pelaksanaan PNPM Mandiri selama
sejak tahun 2007, di nilai cukup positif dalam menanggulangi kemiskinan yang
ada di Indonesia. Melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan
prinsip-prinsip musyawarah mufakat, PNPM mampu memberikan ruang pembelajaran
dalam pengambilan keputusan yang demokratis. PNPM sendiri di rencanakan akan
selesai pada tahun 2014.
Timbul pertannyaan dari kita,
lantas akan ada program apa sebagai pengembang dan penerus dari PNPM?
Sudah menjadi rahasia umum di
masyarakat desa , banyak
sekali anggapan yang menilai bahwa PNPM adalah “banyak uangnya”. Masyarakat
ingin berpartisipasi dalam PNPM jelas di sana menjanjikan “gula-gula” proyek
yang cukup besar. Dengan kondisi pembangunan infrastruktur perdesaan yang belum
merata, menjadikan PNPM di perebutkan dengan sangat gaduh dan seringkali
melalui cara-cara intimidatif. Proses Musyawarah Antar Desa (MAD) sebagai forum
tertinggi di tingkat kecamatan di pakai bukan untuk mencari solusi atas
permasalahan-permasalahan mereka se-kecamatan, namun di persempit dengan nafsu
mendapatkan dana proyek bagi desa mereka masing-masing. Dan memang tidak bisa
di salahkan ketika masyarakat berkehendak demikian. Gelombang arus bawah dari
masyarakat, menjadikan nilai-nilai dan prinsip program menjadi mengambang dan
hanya di jadikan emblem administratif.
Di balik kesuksesan program,
sebaliknya terdapat pula fenomena faktual yang berkembang di masyarakat. Kita
ambil contoh. Bahwa tidak dapat kita pungkiri bahwa kualitas proses dan
partisipatif masyarakat cenderung mengalami grafik penurunan. Masyarakat yang
menghadiri musyawarah baik di desa dan kecamatan telah merasakan kecenderungan
bosan dengan banyaknya rapat yang ada di PNPM. Ujungnya adalah ketika mereka
menghadiri Musyawarah Antar Desa (MAD) yang hakikatnya adalah berjuang bagi
desa mereka sendiri untuk mengakomodir hak, usulan dan merupakan bentuk
partisipasi demokrasi, rata-rata mereka menghendaki adanya transport yang di
bebankan dari pihak desa. Kalau tidak ada transportnya mereka tidak mau berangkat.
Kita ini sudah menjadi manusia
Indonesia yang berjuang bukan untuk kepentingan bersama, tapi sudah
terkotak-kotak hanya untuk pribadi, golongan, institusi, lembaga. Musuh kita
sebenarnya adalah uang, yang kita perebutkan dengan berbagai cara tanpa peduli
saudara, kerabat atau apapun. Kenikmatan bergotong-royong telah di gantikan
dengan kenikmatan materiil. Adapun data-data kesuksesan yang tertampil dalam
lembar-lembar laporan kita adalah data administratif yang tidak cukup dan
bahkan tidak mampu menggambarkan wajah program pemberdayaan ini secara
komprehensiif. Wajah itu terlihat parsial tergantung dari sisi mana kita
melihatnya.
Ketidakberdayaan
“Sang Pemberdaya”
Secara
sederhana, bila kita mengacu kata pemberdayaan (empowering) selama ini
adalah sebuah proses untuk menguatkan serta mendayagunakan agar apa yang
sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya. Berdaya dapat bersifat individual
maupun juga bersifat tatanan sosial kemasyarakatan. Dapat pula disebut sebagai
kemandirian, membangun potensi yang dimilikinya, mengidentifikasi masalah serta
sanggup menemukan problem solving-nya sendiri yang mungkin berasal dari
dalam diri maupun yang ada di luar diri. Kalau meminjam kata Bung Karno adalah
“Berdikari”. Suatu manifesto yang berarti “berdiri di kaki sendiri”. Yaitu
suatu kesanggupan dan juga etos untuk dapat menggerakkan, membangkitkan
semangat juang untuk maju secara kolektif dan “gagah” dalam menghadapi masalah.
Masalah bisa macam-macam, bisa masalah pribadi ataupun masalah sosial yang peta
persoalannya mungkin juga adalah kombinasi dari keduanya. Bisa datang
dari internal masyarakat namun juga ada yang dari faktor-faktor eksternal di
luar masyarakat.
Term
pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan penelitian ilmiah
yang di dasarkan pada Human Development Index (HDI) menampilkan bahwa
index manusia Indonesia rata-rata masih tergolong menengah di antara
negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah negara-negara maju di eropa
dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di atas negara-negara Afrika yang hanya
memilki lautan gurun pasir saja. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki
sumber daya yang melimpah ruah namun masih saja miskin. Bahkan masih kalah
dengan negara serumpun Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan negara
“kecamatan” Singapura.
Dari
itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah satu yang menjadi
faktor (katanya) adalah ketidakberdayaan masyarakat Indonesia yang
mencakup ketidakberdayaan ekonomi, sosial dan politik. 30 Tahun di bawah rezim
yang represif, membuat masyarakat Indonesia, gagal dalam menghadapi arus
modernisasi yang datang menyerbu bagai air bah bergulung-gulung. Rakyat
Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami, mengetahui keunggulan sumber daya
lokal maupun potensi yang luar biasa ini. Untuk itulah maka, diperlukan
pendobrak kejumudan cara berpikir masyarakat untuk membawa masyarakat indonesia
menjadi kondisi masyarakat yang berdaya.
Maka
disebarlah, orang-orang pilihan. Mempunyai kualifikasi dan pengalaman dalam hal
pemberdayaan masyarakat. Strateg ulung yang mampu mengakomodir semua pihak,
mampu di terima di semua tingkatan dan golongan serta selalu aktif mencurahkan
energi, fikiran untuk masyarakat, sanggup menjadi pelayan masyarakat. Mempunyai
ketrampilan teknis dan pengetahuan yang dapat di berikan untuk kemajuan
masyarakat. Bahkan kalau perlu pantang makan bila rakyat belum makan. Tidak
akan bisa tidur nyenyak bila masyarakat belum memperoleh hak-haknya. Pokoknya
segala yang memenuhi arasy otaknya adalah tentang masyarakat. Mereka
menyandang amanah selayaknya wali atau nabi utusan Tuhan yang bertugas membawa
manusia dari jaman jahiliyah atau kebodohan menuju jaman “kepintaran”. Sehingga
idealnya seorang pemberdaya masyarakat adalah seorang yang memang benar-benar
berdaya dan sanggup mengatasi segala ketidakberdayaan. Karena tidak logis
apabila seorang yang tidak berdaya akan sanggup mengatasi ketidakberdayaan di
luar dirinya. ”Ngurus awake dewe wae gak iso kok meh ngurus wong liyo”.
Pemberdaya
masyarakat menyandang amanah yang sangat berat. Di serang dari bawah dan di
tekan dari atas. Kondisi masyarakat yang masih mualaf dalam hal
demokrasi, merupakan tantangan yang tidak ringan.
Mungkin
karena dirasa sebagai seorang yang harus multi talented, agent culture of
change, pendekar mumpuni yang sanggup menguasai segala bidang, maka seorang
pemberdaya merasa kelelahan. Capek. Melihat realita yang di jumpai di lapangan
ternyata njomplang dan seringkali malah bertabrakan dengan teori-teori
pemberdayaan baku. Belakangan baru di ketahui bahwa tidak semudah dan segampang
yang tercantum dalam buku teknis dan pedoman. Teori pemberdayaan terkadang
dirasa tidak relevan lagi di hadang keruwetan kondisi masyarakat.
Banyak
faktor seperti faktor struktural, kultural, birokratis serta faktor-faktor
yang tidak akan terlacak oleh ilmu-ilmu sosial karena memang akan sangat sulit
di identifikasi. Namun jelas, bahwa permasalahan yang menghadang akan sangat
complicated. Anda akan mendapati 10 persen yang dilaporkan dan di umumkan dan
menyimpan 90 persen hal-hal yang tabu untuk di ungkapkan kepada publik.
Dalam
situasi seperti itu yang berlangsung selama bertahun-tahun, membuat nilai
pemberdayaan mengalami distorsi dan reduksi. Nilai pemberdayaan bukan lagi
menjadi nilai yang kualitatif, namun sudah bergeser menjadi nilai normatif
saja. Sudah tidak peduli lagi apakah berpihak kepada masyarakat miskin atau
tidak, tidak perduli apakah kualitas proses pengambilan keputusan merupakan
representasi demokrasi atau tidak, karena yang terpenting adalah di atas kertas
kerja saja yang penuh dengan data manipulatif. Dan puncaknya adalah kita
sanggup menyelenggarakan sebuah musyawarah besar yang ternyata merupakan
sandiwara serta rekayasa belaka.
Kondisi
ini sangat ironis, karena sebagai pemberdaya kita sendiri malah tidak berdaya.
Tidak berdaya menghadapi tekanan, beban tahapan program, laporan yang
absurd sehingga menyebabkan ruh moral dan etika pemberdaya terselip di
tengah-tengah himpitan kegiatan. Kita di hadapkan dengan pilihan simalakama,
bekerja dengan nilai dan etika namun progres akan mengalami keterlambatan
ataukah bekerja di atas meja yang semuanya dapat di olah dan dibuat tanpa kita
melihat kondisi sejati masyarakat namun keuntungannya adalah akan meningkatkan
citra diri kita kepada program. Keterlambatan laporan akan membuat anda
terancam, dan atasan akan menganggap anda tidak becus bekerja secara
profesional. Sedangkan indikator evaluasi kinerja juga tidak mampu menyentuh
aspek yang murni karena disana sini karena berbias dengan subjektivitas.
Di
tengah keruwetan tersebut, pemberdaya menjadi oleng dan mengapung-apung
di tengah gelombang tahapan program kegiatan. Semuanya harus di kerjakan,
dilaksanakan, diselesaikan dan di laporkan. Tidak hanya tuntutan atasan namun
juga keadaan masyarakat yang menuntut pendampingan. Belum selesai satu sudah
muncul tugas dan beban yang lain. Belum lagi di tambah permasalahan di dalam
tubuh internal yang juga harus di selesaikan dan juga tetap di laporkan. Para
pelaku pemberdayaan, menjadi malah sibuk berkutat, berdiskusi, berdebat, sampai
melupakan esensi pemberdayaan itu sendiri. Kita seolah-olah harus mampu apa
saja, siap kapan saja, dan tidak boleh mengeluh.
Sehingga
bukanlah hal yang aneh, apabila di balik (katanya) kesuksesan program namun di
belakang layar, kita sering mendengar celotehan bernada minor.
Kutipan
menggelitik sang pemberdaya .............
Anggota BKAD :” kawan kawan , kita harus nunggu SK dulu baru
bekerja “
Tim Ver : “ Ah, kalo honor verifikasi Cuma Rp. 40 ribu sekali jalan
saya keberatan “
Anggota TPM : “ sdr FK , kita mau meneruskan mengatasi masalah ini.
Tapi saya mau tanya , honornya berapa ?”
TPK :
‘ udah tenang saja , yang penting nanti kasih amplop kan beres “
BKAD :
“ ini sudah jam 14. Nanti uang sakunya apa tidak ?
Pada suatu rapat musrenbang integrasi
tingkat kecamatan ( di belakang sebelum mulai acara )
Kades :
“ ora usah mikir dakik-dakik , pol pole ajek hasile ?”
Jadi
...........
Tantangannya adalah apakah kita akan
terus berkeluh kesah, terhadap pekerjaan kita yang semakin memperlihatkan
ketidakberdayaan kita. Ataukah kita memulai menata kembali nilai pemberdayaan
untuk dapat diterapkan kepada masyarakat yang tidak melanggar mekanisme
kebijakan namun dapat diterima dengan hati dan bukan hanya administrasi. Setidaknya
mari kita memulai dari kita sendiri.
Potret lapang : Kasus atau Masalah?
Potret 1 :
BKAD dan BP
melakukan silaturahim ke salah satun desa dengan tujuan bertemu Kades , TPK ,
Pengurus SPP dan KPMD . dengan penuh keakraban
melakukan dialog secara santai. Hasil diskusi antara lain : Kelompok SPP
tidak di pergunakan sebagaimana dalam proposal pengajuan. Tetapi beberapa
anggota di pergunakan untuk Nyarutang hutang kepada tetangga . kasus apa
masalah ?
Potret 2 :
Salah satu
desa A , hanya ketua TPK yang tahu seluk beluk keuangan yang di terima .
sementara sekretaris dan bendahara hanya pelengkap penderita . kasus apa
masalah ?
Potret 3 :
Pengelolaan
keuangan PNPM desa B , alokasi fisik di laksanakan oleh kepala desa termasuk
pengadaaan bahan material . sementara TPK hanya menbuat SPJ –nya . Kasus apa
masalah ?
Potret 4 :
Salah satu
penerima Manfaat SPP , berkata kepada saya bahwa dia harus di potong 50 ribu
sebagai bentuk uang administrasi kantor desa / legalisasi. Kasus apa masalah ?
Sang pendekar “ perempuan “
Sang pendekar 1
Sejumlah 8 (
delapan ) perempuan di sebuah desa XX , tampak serius berdiskusi . meneliti
lembar demi lembar proposal pengajuan Pinjaman kelompok yang di terima .hari
berikutnya tampak kumpul lagi dan melayani anggota kelompok mengangsur setiap
tanggal 16 .setelah siang hari , catatan di rekap dan ternyata ada 2 (Dua )
orang yang belum memberikan angsuran. Kemudian mereka sepakat mendatangi orang
tersebut secara beramai-ramai. Al hasil angsuran hari itu menjadi sukses.
Ternyata kedelapan orang tersebut menamakan
diri Pengurus SPP PNPM tingkat Desa yang secara sadar dan sukarela, mengurusi
dana SPP di kelompok agar tidak sampai macet di tingkat desa. Dari data UPK
sejak 2008 sampai dengan 2011 tidak pernah macet. ( Hasil kunjungan BKAD ke Desa Mergosari kecamatan
Sukoharjo )
Sang pendekar 2
Sedikit gemuk
dan berkulit sawo matang. Matanya tajam dan bibirnya murah senyum. Itulah
sedikit profil ibu yang sukarela mengurus kelompok di desa gunung tugel
kecamatan sukoharjo. Bersusah payah dan bertanggungjawab ngurusi 8 kelompok SPP
setiap bulan agar lancar dan tidak macet. Dari data UPK sejak 2008 sampai
dengan 2011 tidak pernah macet. ( Hasil
kunjungan BKAD ke Desa Gunung Tugel
kecamatan Sukoharjo )
Berjalan “di tengah kabut “
Melakukan sesuatu yang baru sangatlah
sulit . tetapi dengan semangat yang tinggi dan rela berkorban , menjadikan
jalan membongkar kesulitan . alhamduliillah dengan pertolongan Alloh , usaha
tak lelah dari FK dan FT , Tumbuh Semangat baru anggota BKAD dan BP satu kata :
MAJU TERUS PANTANG MUNDUR.
Masing masing mengolah rasa ,
bergandeng tangan ,memanfaatkan momentum untuk terus berdiri kokoh . memaksa
diri dalam serba keterbatasan untuk sedikit melakukan kegiatan di tengah carut
marut dan pertarungan emosi.
Wujud kegiatan itu antara lain:
1. Rapat bergilir
di masing masing anggota
2. Rapat
insidentil di luar
3. Siltaruahmi
masing masing anggota ke anggota lain
4. Sering
berkunjung ke kantor UPK
5. Melakukan
kunjungan bergilir ke desa , 1 bulan 3 desa
Membumikan “ nilai dan prinsip “
Seorang warga di tanya : pak sampeyan
tahu PNPM ? jawabnya Tahu .singkatan apa pak ? jawabnya tidak Tahu
Ditanya lagi : pak , betonisasinya baru
selesai kok , sudah pada rusak ? jawabnya “ wah kalo itu kan sudah ada
pengurusnya , sampeyan tanya pengurusnya saja
Suatu wwaktu , warga desa yang termasuk
anggota BPD di tanya , pak sampeyan
tahun ini mengusulkan kegiatan apa yang akan di danai PNPM
Jawabnya : ah , kalo itu pak kades yang
Tahu .
Seorang peminjam SPP yang macet di
tanya , bu kok macet 3 bulan gak di angsur ?
Jawabnya : lah ,ora ngangsur ya ora di
hukum .
Celoteh di atas sungguh ironi dengan
nilai dan prinsip PNPM sebagai sebuah pemberdayaan . ada simpul yang terputus
dalam hal ini .dari celoteh di atas ada beberapa hal yang menggelitik di benak
kita :
1. Masyarakat
umum merasa bahwa Kegiatan PNPM
bukan urusannya ,
2. Urusan PNPM hanya pada pengurus ( TPK , UPK , BKAD,
FK, FT, BP )
3. Hak masyarakat
terhadap kegiatan PNPM belum terpenuhi
4. Masyarakat
belum paham betul mekanisme PNPM
5. PNPM hanya di
ketahui , belum di pahami
6. Belum ada
Gerakan bersama sama memahami nilai dan prinsip PNPM
Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan :
1. BKAD sebagai
wahana kerja sama belum / tidak bisa secara maksimal menjalankan tugas dan
fungsinya di karenakan pemahaman diri
terhadap konsep pemberdayaan yang kurang dan terbentur pada budaya ego desa
untuk membangun kawasannya tanpa memperdulikan desa yang lain
2. Minimnya
kesadaran para pelaku PNPM untuk untuk mengembangkan diri, dan memperjuangkan nilai nilai dan prinsip
PNPM agar terpatri di hati masyarakat
sehingga masyarakat tidak acuh tak acuh terhadap kegiatan PNPM.
3. Sikap Rela
berkorban yang minim para pelaku PNPM dan pemangku kebijakan sehingga Program
PNPM kurang sesuai dengan maksud dan tujuan khususnya program simpan pinjam
perempuan ( SPP )
Rekomendasi :
1. Perubahan
pendekatan dari pelaku tingkat kecamatan ( BKAD , FK, FT ) terhadap pelaku PNPM
tingkat Desa , dengan cara penambahan dialog
informal di tingkat desa dan stakeholder desa yang ada . pendekatan ini akan
efektif karena ada dialog hati ke hati antar pelaku sehingga kesulitan dan
masalah setidaknya terdeteksi lebih dini.termasuk kemungkinan membangun
kesepakatan kerja sama dengan desa lain
2. Desain ulang
format / Refres pengelolaan PNPM semua tingkatan termasuk format pengawasan ,
regulasi ( SOP ) ,dana sosial , dan model pelatihan
3. Desa agar
menunjuk / memfasilitasi terbentunknya pengurus
SPP yang handal ( rela berkorban dan amanah ) setidaknya 3 ( tiga ) orang perempuan
sekaligus sebagai Tim verifikasi tingkat desa.
Komentar
Posting Komentar